Konstitusi, Diskriminasi Dan Hilangnya Hak Politik Warga Negara

Pengalaman
berbagai konflik agrarian seringkali berakhir dengan berbagai kisah
terabaikannya hak-hak warga Negara. Konflik agrarian yang terus terjadi
diberbagai tempat mengakibatkan posisi kaum tani Indonesia makin
terjepit. Dari tahun ketahun, ketimpangan struktur agraria akibat
monopoli atas sumber-sumber agraria menyebabkan kemerosotan dan
keterbelakangan kehidupan kaum tani di semua aspek, mulai sosial
ekonomi, politik maupun budaya. Kaum tani di Moro-moro, Register 45,
Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung adalah salah satu
bagian kaum tani yang merasakan beratnya menghadapi tekanan negara dan
berbagai perilaku diskriminasi lainnya. Selama 14 tahun terakhir (sejak
1997) mereka diabaikan hak-hak politik dan ekosob-nya sebagai warga
negara akibat konflik agraria yang menyelimutinya. Tinggal di kawasan
hutan Register 45 menyebabkan predikat “masyarakat illegal” harus mereka
terima. Konsekuensi hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara
secara sengaja dihilangkan. Tidak memiliki KTP, dokumen kependudukan,
kehilangan hak-hak politik, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang
memadai seperti layaknya warga negara lainnya, adalah konsekuensi yang
harus dihadapi ketika pilihan untuk berdiam dikawasan registrasi
dilakoni. Aroma konstitusi yang didalamnya terdapat berbagai pasal yang
melindungi hak-hak asasi warga negara tidak pernah sampai apalagi
dirasakan oleh 3359 jiwa (hasil SP 2010) kaum tani di Moro-moro,
Register 45 Sungai Buaya. Kebalikannya, tindakan-tindakan “anti
konstitusi” justru menjadi hal yang biasa diterima. Berbagai pakar hukum
telah menyatakan bahwa salah satu elemen dasar dari negara hukum adalah
perlindungan terhadap hak-hak dasar/hak asasi manusia.Dalam konstitusi
kita hak-hak asasi manusia juga telah diadopsi menjadi hak-hak
konstitusional sesungguhnya tidaklah jauh berbeda dengan bicara hak
asasi manusia. Meluasnya jaminan hak-hak asasi manusia melalui
pasal-pasal di dalam UUD 1945 tentunya merupakan sebuah kemajuan dalam
membangun fondasi hukum bernegara.
Konstitusi
kita secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak dasar
manusia/hak-hak asasi manusia. UU No. 39 Tahun 1999 HAM tidak dapat
dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Hak untuk
memiliki selanjutnya juga diatur dalam Pasal 43 ayat 1 UU HAM yang
mengatakan “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
berlangsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. UU No. 10 tahun 2008 tentang
Pemilu juga menyatakan bahwa negara yang sudah berusia 17 tahun atau
sudah/pernah kawin punya hak memilih. Pasal-pasal ini sepengetahuan
penulis belum mengalami perubahan.
Kehilangan Hak
Kasus
hilangnya hak politik warga negara dalam berbagai proses Pemilu yang
ada di Indonesia sejak tahun 2006 (pilkada, pilgub, pileg dan pilpres)
seperti yang dialami oleh masyarakat moro-moro tentunya mencederai rasa
keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum seperti
yang tertulis dalam konstitusi kita. Ironinya hal ini bukan hanya sekali
terjadi, tapi berkali-kali masyarakat Moro-moro kehilangan haknya
sebagai warga negara. Pemerintah dan KPU tentunya bukan tidak mengetahui
persoalan ini karena kasus penghilangan hak politik ribuan warga negara
seperti yang dialami masyarakat telah terjadi berulang kali. Saling
lempar tanggungjawab antar Pemkab dan KPU terjadi sejak tahun 2006.
Sejak tahun 2006 KPU selalu beralasan mereka hanya menerima daftar
pemilih dari Pemkab setempat, syarat untuk dapat memilih adalah
terdaftar dalam data kependudukan. Sementara Pemkab beralasan meski
mengakui warga moro-moro sebagai warga negara, tapi mereka belum diakui
sebagai warga kabupaten Mesuji karena bertempat tinggal di wilayah hutan
yang dilarang. Jika terus begitu maka hal ini tidak akan pernah
memberikan kepastian hukum terhadap bisa atau tidaknya warga Moro-moro
menggunakan hak konstitusionalnya. Sampai dengan hari ini KPU dan Pemkab
sendiri tidak pernah berani mengumumkan secara terbuka
pelarangan/penghilangan hak konstitusional warga Moro-moro dan dasar
hukum apa yang digunakan untuk melegalisasi sikap tersebut.
Berbagai
inisiatif warga untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih tidak pernah
mendapatkan kepastian hukum. Hal ini berbeda dengan kelaziman yang
berlaku diberbagai tempat dalam soal pendataan pemilih di Indonesia.
Padahal mereka pemerintah dan KPU pasti mengetahui bahwa hak politik
adalah salah satu hak yang diakui dan dilindungi oleh Konvensi
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia lewat UU No. 12 tahun 2005. Dengan demikian
sejatinya hak asasi manusia termasuk didalamnya adalah hak politik
sejatinya ada karena semata-mata diberikan oleh Negara, karena sifatnya
terletak (entitlement) bukan hanya semata-mata berdasarkan pemberian
hukum positif (given). Tindakan penghilangan hak politik warga negara
dengan alasan karena bertempat tinggal di wilayah hutan ini mengesankan
tindakan diskriminatif jika terlalu dini untuk mengkategorikannya
sebagai tindakan anti konstitusi. Pemerintah boleh saja berpandangan
bahwa keberadaan orang-orang diberbagai register melanggar
undang-undang, tapi apakah karena “dianggap” melanggar hukum hak-haknya
sebagai warga negara harus dihilangkan ? Sebagai analogi seseorang yang
secara jelas dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan pengadilan pun
tetap bisa menggunakan hak politiknya. Lewat analogi ini terlihat bahwa
di satu sisi pemerintah tetap berusaha melindungi dan memberikan hak
politik warga negara yang berstatus terpidana tapi disisi lain
menghilangkan hak politik warga Negara yang “baru dianggap” melanggar
undang-undang. Disinilah yang dimaksud dengan tindakan diskriminatif
terjadi. Analogi lainnya adalah pemerintah menjamin hak politik para
buruh migrant yang kita yang berada diluar wilayah Indonesia, tapi
menghilangkan hak politik warga negara yang berada didalam wilayah NKRI.
Negara melalui penyelenggaraan pemilu sejatinya harus mampu menjamin
terpenuhinya hak memilih warga karena meminjam pendapat MK-hak untuk
memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh
dikurangi karena soal-soal teknis administrasi. Dalam kasus Moro-moro
ada cara pandang yang salah, dimana selain perilaku diskriminatif, sikap
“mencurigai” usaha-usaha-usaha warga negara untuk memperjuangkan hak
politiknya sebagai warga negara.
Prinsip Negara Hukum
Dalam
kasus Moro-moro negara seakan-akan tidak lagi mampu melindungi hak
warga negara, pemerintah dan KPU justru terkesan ragu-ragu kalau tidak
bisa dibilang takut untuk menegakkan konstitusi. Pertanyaan akademisnya
kemudian adalah apakah konstitusi kita sudah berubah ? Apakah Kebijakan
Pemkab dan Peraturan KPU bisa mengalahkan amanat konstitusi ? Apakah
perlakuan pemerintah dan KPU terhadap warga moro-moro bisa dikategorikan
sebagai tindakan inskontitusional ? UUD 1945 secara tegas melarang
berbagai tindakan diskriminasi sebagaimana tercermin pada Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 I ayat (2). Berbagai peraturan
dibawahnya seperti Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
juga tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku,
ras, etnik, kelompok golongan status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahwa keyakinan politik. Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada
kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwasannya setiap
orang berhak atas pangakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ditegaskan pula
dalam pasal 28 I ayat (2) yang menyatakan bahwasannya setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif.
Jika
melihat Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 jelas menunjukkan tanggungjawab
negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM Sedangkan
Pasal 28 I ayat (5) menegaskan penegakkan dan perlindungan hak asasi
manusia (HAM) yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam prakteknya mungkin ada benarnya pendapat Prof.
Jimly Asshidiqie yang mengatakan bahwa dalam praktiknya penegakkan HAM
sangat dipengaruhi oleh corak praktek politik yang berlaku pada suatu
negara. Begitu pula sebaliknya, jika politiknya otoritarian, maka
alih-alih mengenai HAM, yang justru biasanya terjadi adalah merebaknya
praktik kejahatan HAM. Namun, dalam keadaan demokratis pun, jika para
penegak hukum tidak memiliki kemauan kuat untuk menerapkan law enforcement dan justice enforcement,
kejahatan HAM dapat saja tetap terjadi. Penulis ingin menguntit
pernyataan Gus Dur bahwa ideologi yang luhur dan mulia, ternyata tidak
diwujudkan dalam perilaku pemerintahan yang sesuai dengan tujuan dan
semangat UUD, yaitu berlangsungnya pemerintahan yang memiliki kewenangan
terbatas dalam mengatur kehidupan masyarakat. Negara lain tampak
sebagai kekuasaan pihak yang memerintahkan, bukannya sebagai pelaksana
sistem pemerintahan yang bercirikan kedaulatan hukum. Perjuangan orang
Moro-moro untuk mendapatkan hak politiknya sesungguhnya dapat merupakan
perjuangan menegakkan konstitusi. Perjuangan menegakkan amanat “segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Juga perjuangan menegakkan Pasal 5 ayat (1) UU HAM
mengatakan : “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai
dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Memang belum tentu juga
dengan mengikuti Pemilu akan dapat mengubah nasib orang Moro-moro
menjadi lebih baik, tapi juga tidak bijak juga menghilangkan mimpi
mereka untuk melihat masa depan yang lebih baik. Dalam situasi demikian,
nilai-nilai konstitusional perlu terus menerus didorong untuk secara
berani dan tegas menjamin serta melindungi hak-hak konstitusional warga
negaranya. Akhirnya Thomas Jefferson pernah berkata “if we cannot secure all our rights, let us secure what we can”.
Sumber :Kesbangpol-Kemendagri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar