Ø Produk Gagal Ban Bridgestone /
Firestone Inc
Studi Kasus pada Tahun 2000
Bridgestone/Firestone Inc telah menarik 6,5 juta produk ban-nya. salah satu
dari penarikan part produk otomotif Berbahaya terbesar di Dunia. penarikan
tersebut diakibatkan karena kecurigaan atas kematian 175 orang dan 700 orang
korban luka-luka akibat pecah ban. produsen pesaingnya GOODYEAR juga mengalami
masalah yang pada produk ban-nya yang barhubung dengan kecelakaan yang
mengakibatkan kematian 15 orang dan 120 orang luka-luka.
Ø Produk Gagal Suzuki Arashi 125
Motor keluaran suzuki yang mulai
diluncurkan pada Tahun 2005 ini diposisikan sebagai pendamping Shogun 125
dengan fitur lampu ditengah dan mesin lebih sedikit bertenaga dibanding shogun 125,
namun produk ini kurang laku di pasaransebab konsumen 'merasa' aneh
dengan bentuk bebek seperti ini dan mereka cenderung menyukai lampu dibatok
saja , padahal dari sisi mesin produk ini lebih baik dibanding supra - x 125,
hl ini disebabkan brand image suzuki yang terkenal kencang tapi sedikit boros,
spareparts yang mahal karena hanya tersedia original,jaringan service yang
sedikit dibanding honda , dan harga jual kembali yang jatuh padahal
sesungguhnya produk ini tidak seperti itu.
Pada akhirnya Tahun 2007 awal suzuki
menghentikan produksi motor ini dan konsen dengan produk andalan mereka yaitu
suzuki shogun 125 yang namanya masih diterima dimasyarakat walaupun angka
penjualannya belum melampaui angka penjualan supra-x 125.
Ø
Kualitas
Produk dan ‘Produk Gagal’
Istilah ‘Produk Gagal’ sesungguhnya
istilah yang diberikan kepada produk (barang ataupun jasa) yang mutu atau
kualitasnya tidak memenuhi standar yang disyaratkan. Standar mutu/kualitas bisa
berasal atau ditetapkan dari pabrik atau bisa pula berdasarkan ketentuan
standar secara umum dari luar pabrik. Dari pabrik sendiri menetapkan standar
mutu sebagai bagian dari ciri khas produk yang membedakannya dengan
produk-produk lainnya yang sejenis (produk pesaing).
Pihak pabrik terkadang juga
menerapkan standar mutu lain yang berasal dari organisasi standar mutu
seperti ISO (International Organization for Standardization)
atau yang berasal dari dalam negeri seperti SNI (Standar Nasional Indonesia). Selain itu, standar mutu
tambahan lainnya juga berasal dari regulasi yang mengatur mengenai ketentuan
ataupun persyaratan suatu produk baik barang maupun jasa. Misalnya, regulasi pemerintah
tentang standar keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam menggunakan atau
mengkonsumsi produk.
Jika dalam pengujian mutu (untuk
produk jenis barang) ditemukan mutu produk di bawah standar yang ditetapkan
oleh pabrik, maka produk (barang) tersebut dikategorikan sebagai ‘Produk
Gagal’. Pengujian mutu tidak hanya dilakukan di dalam pabrik, akan tetapi dapat
pula setelah produk tersebut beredar di pasar atau dikonsumsi oleh masyarakat.
Jika selama dikonsumsi ditemukan cacat atau ketidaksesuaian dengan mutu yang
dijanjikan oleh pabrik, maka produk tersebut dikategorikan ‘Produk Gagal’
Untuk produk jenis jasa tentunya
memiliki cara pengujian mutu yang berbeda dengan produk jenis barang. Kualitas
jenis layanan jasa baru bisa terlihat secara nyata apabila layanan tersebut
telah dijalankan atau telah dinikmati oleh konsumen. Penilaian kualitas
dipertimbangkan berdasarkan penilaian konsumen berupa kepuasan dan banyaknya
(kuantitas) layanan yang telah dimanfaatkan atau dikonsumsi. Dalam hal ini,
produk jasa dapat dikategorikan ‘Produk Gagal’ apabila kinerja kualitas layanan
tidak memenuhi kepuasan yang diharapkan konsumen.
Ada dua pihak yang dianggap paling
tepat mengeluarkan pernyataan ‘Produk Gagal’, yaitu pihak perusahaan atau
pabrikan, dalam hal ini bagian pengendali mutu (quality control) dan lembaga
konsumen. Apabila dari pihak perusahaan/pabrikan mendasarkan pada standar
khusus yang ditetapkan perusahaan/pabrikan, maka pihak lembaga konsumen
mendasarkan pada fungsi produk dan kesesuaian dengan spesifikasi yang
dijanjikan oleh pihak pabrikan. Pihak lain yang bisa menjadikan suatu produk
dikategorikan ‘Produk Gagal’ adalah pemerintah (regulator).
Ø
Beberapa
Contoh Kasus
Bulan Januari 2009, di rumah kami
sudah terjadi pemadaman listrik hingga lebih dari 10 kali. Ini sudah berkurang
dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya. Untuk air minum yang berlangganan
melalui PAM, tidak jarang kami mendapatkan air ledeng yang keruh. Sementara
itu, kami di rumah tidak pernah sekalipun terlambat membayar tagihan baik listrik
maupun PAM. Bagi PLN maupun PAM, layanan jasa (produk) yang diberikan tidak
dikategorikan ‘Produk Gagal’ karena dianggap masih memenuhi standar layanan
yang mereka tetapkan. Namun, bagi lembaga konsumen seperti YLKI, kedua layanan
jasa ini dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.
Di Indonesia ada cukup beragam merek
suku cadang kendaraan bermotor yang beredar di pasaran baik roda dua maupun
roda empat (termasuk truk dan bis). Sebagian industri otomotif yang beroperasi
di Indonesia seperti Honda, Suzuki, Yamaha, dan nama-nama lain beranggapan jika
merek suku cadang yang bukan mereka produksi bisa dikategorikan sebagai ‘Produk
Gagal’. Sekalipun dapat difungsikan, akan tetapi standarisasi kualitas tidak
sesuai dengan yang direkomendasikan pabrik sehingga dianggap pula mempengaruhi
fungsi. Namun, bagi pelaku industri komponen (suku cadang), produk mereka bukan
‘Produk Gagal’ karena standar kualitas masih difokuskan pada fungsi.
Jika berpedoman pada standar mutu
pabrikan secara umum yang produknya dipasarkan di Indonesia, produk-produk Cina
(RRC) bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’. Sekalipun dapat difungsikan
atau dioperasikan, akan tetapi kualitas atau kinerja produk tidak sesuai dengan
umumnya produk-produk yang pernah dikonsumsi masyarakat Indonesia. Pada akhir
tahun 2008 lalu, merek produk makanan dari Cina sempat ditarik peredaran
seperti produk makanan yang mengandung kadar susu bermelamin.
Pihak pemerintah pun juga
menghasilkan produk yang disebut jasa layanan kepada masyarakat atau jasa
pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat membayarnya melalui pajak dan berbagai
pungutan resmi lainnya. Sekalipun dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi
kinerja layanan tidak seperti yang diinginkan atau diharapkan masyarakat, maka
produk layanan pemerintah tadi bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’. Dari
pihak pemerintah sendiri tidak demikian karena masih bisa difungsikan dan
dibutuhkan oleh masyarakat.
Produk-produk industri yang berasal
dari kelompok uni usaha kecil dan menengah (UKM) tentunya memiliki kualitas
yang secara umum masih di bawah standar kualitas nasional. Usia usaha yang
masih relatif baru dan modal yang lebih banyak diusahakan sendiri tentunya
menjadikan unit-unit usaha seperti UKM belum mencapai standar mutu nasional,
setidaknya yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jika merujuk
pada pengertian produk yang secara mutu, maka tidak sedikit produk yang
dihasilkan dari UKM di Indonesia bisa dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.
Lulusan perguruan tinggi dengan
jenjang S-1 pun bisa diberlakukan istilah ‘Produk Gagal’. Pihak perguruan
tinggi mengklaim produknya berhasil karena dianggap mampu melewati tahapan
persyaratan akhir studi. Ketika dibuka ‘Job Fair’, maka disitulah kemudian
dikerumuni ribuan calon tenaga kerja terdidik (S-1). Hanya sedikit dari mereka
yang bisa diterima dan sebagian besar lainnya kemudian menganggur. Tidak
sedikit pula dari mereka yang diterima tidak mampu menaikkan nilai (value)
perusahaan kecuali hanya sekedar menjalankan aktivitas operasional rutin. Tidak
ada inovasi dan tidak ada pula kreativitas untuk menciptakan nilai tambah dari
latar belakang pendidikannya sendiri. Selain mutu yang diharapkan tidak sesuai
dengan yang diinginkan pencari kerja, dari mereka lulusan S-1 itu sendiri tidak
banyak berbuat sesuatu yang bisa menaikkan nilai tambah setidaknya bagi dirinya
sendiri. Jika kondisi seperti ini yang terjadi, maka lulusan perguruan tinggi
S-1 tadi dapat dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.
Kader suatu partai politik (parpol)
adalah bakal dari produk politik dari parpol itu sendiri. Para kader ini
nantinya yang akan menempati posisi di tingkat struktural organisasi, jabatan
di pemerintahan, ataupun di parlemen. Apabila setelah menempati posisi-posisi
tersebut, mereka (produk parpol) tidak dapat menjalankan tugas atau tidak dapat
menghasilkan pekerjaan sesuai yang diharapkan atau diinginkan, sesuai dengan
standar berupa amanat ataupun program kerja, maka produk parpol tadi pun bisa
dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’.
Ø
Penutup
Masih banyak sekiranya contoh kasus
yang berkaitan dengan istilah ‘Produk Gagal’. Tidak hanya dibatasi pada lingkup
organisasi produksi (pabrikan), akan tetapi bisa lebih luas lagi berdasarkan
pengertian produksi. Jika membicarakan tema tentang ‘Produk Gagal’, maka di
sini sedang berbicara tentang aspek kualitas atau mutu produk. Perlu
digarisbawahi di sini, selain aspek kualitas, terdapat aspek fungsional produk
yang juga sering menjadi orientasi organisasi produksi dalam menghasilkan
produk.
Pihak yang paling berkompeten atau
berhak menentukan produknya dikategorikan sebagai ‘Produk Gagal’ adalah pihak
pabrikan atau perusahaan itu sendiri. Pihak lain seperti dari lembaga konsumen
ataupun pemerintah hanyalah memberikan rekomendasi untuk mendorong pengakuan pihak
pabrikan atau perusahaan. Dalam banyak kasus, ‘Produk Gagal’ pun masih dilempar
ke pasar dengan lingkup yang terbatas dan harga yang tentunya lebih rendah.
Dalam hal ini, pihak perusahaan hanya menggunakan standar mutu minimal dan
lebih memperhatikan aspek fungsional dari produk itu sendiri. Tidak semua mutu
yang ditetapkan pihak pabrikan dibutuhkan secara utuh oleh konsumen atau
pembeli.
‘Produk Gagal’ dalam konteks apapun
tidak memiliki korelasi atau keterkaitan dengan peristiwa perusahaan gulung tikar
ataupun nyaris bangkrut. Dalam hal ini, perusahaan yang gulung tikar atau
nyaris bangkrut berkaitan dengan aspek persaingan dan daya tahan usaha.
Sekalipun produknya dikategorikan ‘Produk Gagal, akan tetapi masih diterima
masyarakat, maka perusahaan akan tetap bertahan. Sekalipun tidak diterima
masyarakat, akan tetapi pihak perusahaan mampu mencari dukungan modal, maka
perusahaan pun akan tetap bertahan.